di page ini

Selasa, 13 Januari 2009

Menghangatkan cinta kasih kita_Mendekatkan cinta kasihNya diantara kita




Meskipun waktu kita sangat sedikit untuk bersama, tak menyurutkan usaha kita untuk saling bertatapan, berpegangan, bercakap dan mendengarkan. Kesadaran kita pada keterbatasan yang kita miliki, membuat kita dengan penuh kerendahan hati mengucapkan kalimat indah ini: "Bicaralah, Sayang. Aku tidak mungkin bisa "membaca" pikiranmu bila kau enggan mengungkapkannya. Sampaikan maksud dan keinginanmu dengan jelas dan
tuntas".
Lalu, kita pun saling membuka diri untuk mendengarkan semua rasa yang saling kita ungkap. Bahkan tak jarang air mata mengiringi ketidaksiapan kita mendengarkan kejujuran yang terasa pahit.





Ijinkan aku menatapmu, Sayang. Dengan begitu aku bisa mendengar malaikat bernyanyi untuk kita. Tatapan rahmatNya pada penghayatan kita ketika menikmati kebebasan yang dihalalkannya hanya bagi kita. Semoga cinta manusiawi ini akan mengantarkan kita pada cintaNya yang agung.

Tak kan cukup waktu kita jika hanya terpaku pada perbedaan-perbedaan yang ada antara kita. Baik perbedaan sikap maupun pandangan. Aku tidak harus menjadi dirimu, begitu pula sebaliknya. Kita selalu mengingat, setiap manusia itu unik. Tidak ada dua manusia yang sama persis di muka dunia ini, bahkan saudara kembar sekalipun.

Jika kita tak mengingatNya, tentu kita akan sangat kepayahan dan tertatih menentukan arah rumahtangga kita. Merasa terlalu lemah untuk merancang kehidupan dimasa depan bersama. Semoga Dia selalu menguatkan dan merahamti kita, amin.

Read More......

Senin, 05 Januari 2009

MUDIK SERIBU BULAN

Kau hampiri kami dengan Ramadhan-Mu
Tak ternilai cinta dan kasih sayangMu
Kepada kami yang jangankan untuk mencarinya…
Menerima pun kami masih enggan
Dan berlagak sok dan seperti tidak butuh
Apa lagi yang bisa kami dustakan
Apa lagi yang bisa kami banggakan
Apa lagi yang bisa kami sombongkan
Dan berapa sering lagi kami akan melalaikanMu? (Jamilun)
*****

Syema menyambut suaminya yang pulang larut malam dengan mengantuk. Syema, dalam usianya yang memasuki tiga puluh tahun, mencium tangan lembut suaminya dengan takzim dan mengambil tas kerja suaminya. Sambil melirik, si cantik Syema bertanya:
“Bagaimana acara hari ini, lancar?”
“Yah begitulah,” jawab suaminya singkat. “Aku sudah dapat tiket untuk mudik.”
“Mudik ke mana Mas?” Tanya Syema sambil mengerutkan kening.
“Ke Jawa,”
“Ke Jawa lagi?”
“Abah dan Ummi akan mengadakan syukuran buat ulang tahun Najwa,”
Duh! Mudik untuk menghadiri perayaan ulang tahun cucu kesayangan?
“Kenapa tidak ke Kalimantan?”
“Ongkosnya lebih banyak,”
“Tapi aku kan juga punya tabungan, Mas,”
“Simpan saja buat keperluan yang lain,”
“Keperluan apa, Mas?”
“Mungkin nanti biaya perjalanan dan buah tangannya juga perlu di tambah lagi”
“Ah!”Syema meneguk ludah, kecut. Sejak menikah, sudah empat kali lebaran dia tidak pulang kampung. Dua di antaranya lebaran di perantauan, selebihnya dia ikut pulang kampung ke Jawa, ke rumah mertuanya. Sesungguhnya dia menyimpan kerinduan yang sangat dalam terhadap tanah kelahirannya, tapi dia juga tak berdaya melawan keinginan suaminya untuk menikmati lebaran bersama keluarganya.
Kadang dia merasa suaminya tak cukup peka untuk merespon kebutuhan jiwanya. Sebagai seorang anak, suaminya selalu luluh tak berdaya setiap mendengar keluhan dan kerinduan orang tuanya. Syema juga meragukan, mertuanya pernah berpikir tentang kebutuhan menantunya.
Astaghfirullaahal’azhiim!!!
Syema buru-buru membaca istighfar, berusaha mengusir perasaan negatif yang merejam hatinya. Meski agak kurang sreg dengan keputusan suaminya, Syema tidak mempermasalahkan tujuan mudik lagi. Dia berusaha menata perasaannya. Mudik ke Jawa pun tidak masalah, toh orang tua suaminya berarti orang tuanya juga. Sembari membayangkan Lebaran bersama-sama shalat Ied di pelataran masjid pesantren milik keluarganya.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, Syema sungguh-sungguh berusaha memelihara dan menyelamatkan puasanya. Bahkan sahabatnya di tempat kerja sering menggodanya karena perubahannya itu. Tapi Syema hanya menanggapinya dengan senyuman. Puasa adalah perintah Allah dan Allah sendiri yang mengaruniai pahalanya. Subhanallah.
*****
Dalam hari-hari mendekati mudik, Syema semakin sering teringat perkataan mertuanya,
”Nak, sebetulnya Masmu dulu telah diminta oleh Kyai Fattah yang punya pondok di kota Banyuwangi untuk di jodohkan dengan putri bungsunya. Tetapi Masmu tidak mau. Padahal, telah disediakan rumah, modal untuk usaha dan pesantren untuk dikelola.”
Ya, pada awal pernikahannya sampai sekarang, Syema seringkali disindir ataupun dibandingkan dengan calon menantu impian yang tidak dipilih anaknya. Hal itu membuat Syema tidak begitu bisa masuk pada keluarga ningrat suaminya.
Syema yang berasal dari sebuah desa di Kalimantan, terbiasa bekerja keras di sawah, terbiasa terpanggang sinar matahari dan tak terlalu memperhatikan penampilannya. Kehidupan yang membuat buku jemari tangannya mengeras dan membesar. Telapak tangannya pun terasa kasar. Semasa pacaran, hal itu sempat menjadi olok-olok di tengah keluarga suaminya. Tetapi Syema pura-pura tak mendengar. Meski hatinya kadang merasa sakit.
Sangat berbeda jika dibandingkan dengan keadaan suaminya. Jemari tangannya runcing dengan telapak kaki yang lebih lembut dari telapak tangan istrinya. Tetapi Syema kadang tertawa di dalam hati menyaksikan tradisi keluarga suaminya yang aneh. Keningratan yang menimbulkan kemalasan dan sikap gengsi melakukan hal-hal kecil. Berakibat pula pada ketidakmandirian mereka meskipun telah berkeluarga. Bahkan tergila-gila pada penghargaan dari orang lain terhadap keningratan mereka.
Selebihnya Syema merasa bersyukur, sejarah pendidikan suaminya yang membuatnya jauh dari keluarga besarnya, menorehkan bentuk kepribadian berbeda dibandingkan dengan karakter keluarganya.
*****
Ramadhan ke-26.
Setelah menempuh perjalanan selama 23 jam dengan Bis Lorena. Pertemuan dengan mertuanya pun akhirnya tiba. Mertuanya memeluk sekilas, seolah hanya untuk basa basi dan kepatutan. Lalu menghabiskan obrolan dengan anak dan cucunya yang lagi lucu-lucunya. Syema hanya tersenyum ketika kehadirannya hanya sebagai pengiring. Akhirnya dia memilih merapikan barang-barang bawaan di kamar. Menyiapkan oleh-oleh yang akan diberikan kepada mertua dan keponakan-keponakan suaminya.
Bahkan Syema kembali tersenyum, ketika mertuanya menerima oleh-oleh baju lebaran dengan ucapan:
“Wah.., kalau di sini baju bagus-bagus. Ini harganya tujuh puluh ribu ya?”
Syema hanya diam menatap bandrol yang masih melekat di baju itu, tigaratus tujuh puluh ribu. Egonya merasa terluka meskipun bibirnya masih bisa mengembangkan senyuman. “Itu ada harganya, Ummi”
“Haah.., mahal banget. Kalau di sini paling seratus ribu!”
Nah! Syema kembali tersenyum. Pahit.
*****
“Seharusnya Mas dulu tidak memilih jelata seperti aku”
Suaminya menatap Syema dengan tajam. “Maaf ya, Mas, aku lagi agak emosional. Tentu saja Mas memilihku, kan kita saling mencintai.”
Syema merasa lega melihat suaminya tersenyum,” Ya Dik, itu sudah menjadi komitmen kita, bukan?”
Syema mengangguk. Kepalanya bertelekan di bahu suaminya dan tangannya memeluk pinggang. Rangkuman dari kesatuan keindahan yang tercipta di tengah keluarga mereka.
“Tetapi bisa gak, kita tak perlu mengingat hal-hal yang membuat kita merasa benci kepada orang lain. Mengacuhkan hal-hal yang tidak memberi nilai positif bagi keharmonisan rumah tangga kita.” Suaminya seolah membaca pikiran Syema. “ Apakah Adik sayang kepada orang tua Mas?”
“Ya tentu, aku sayang sama Ummi. Mas tahu sendirikan, kalau kita ke sini, pasti aku selalu ditanya makanan apa yang ku inginkan. Dan Ummi akan sibuk membuatkan makanan kesukaan kita”
Jawaban itu rupanya cukup memuaskan suaminya. Setelah makan kolak sisa berbuka, suaminya beranjak tidur. Sementara Syema masih ingin menikmati angin yang bertiup menuju Pantai Watu Ulo. Suara orang-orang yang tadarus dari mesjid di tengah pesantren sudah tidak terdengar lagi. Mungkin masih berlangsung, tapi tidak memakai pengeras suara. Menghargai pluralitas umat yang hidup di sekitar pesantren.
Langit sangat bersih. Malam itu terasa jernih, terang, tenang dan sejuk. Kedamaian dan ketenangan melingkupi hatinya. Berbeda sekali dengan kekesalan yang selalu melingkupi perasaannya setiap bertemu dengan mertuanya selama ini. Ketika dia benar-benar menikmati kedekatan dengan Sang Maha Rahiim, maka cinta dari makhlukNya yang selama ini selalu didambakannya terasa tak bernilai lagi.
Syema menatap langit dan sepotong bulan di penghujung Ramadhan tampak bersinar. Pikirannya mengembara mengingat sikap-sikapnya selama ini. Dia tidak pernah tahu berapa banyak mertua yang tidak cocok dengan menantunya. Keningnya mengerut heran mengingat saat-saat pertemuan singkat seperti ini, semua yang seharusnya tidak perlu dia pikirkan atau rasakan muncul berbenturan. Akhirnya seulas senyum mengembang ketika memikirkan Ramadhan kali ini dia mencoba untuk lebih menghargai.
Dia merasa bukan seperti Alisya yang bisa mencintai mertuanya seperti orang tuanya sendiri. Syema sendiri merasa yakin, mertuanya sangat memahami kalau mereka berdua mencoba untuk menjadi teman. Pertemanan yang dijalin dari dua kehidupan dengan atmosfer berbeda. Dan sekalipun pertemanan itu tidak selalu berhasil! Syema yang tidak bisa menerima sebagian besar tata cara yang mentradisi di tengah keluarga suaminya.
Ah! Syema menarik napas dalam. Dia merasa tidak sendirian. Tidak ada sepi. Kedamaian mengisi sepenuh dadanya. Malam ini, sepertinya Syema bisa melihat isi hati mertuanya. Ketika dari hatinya terdengar bisikan:
“Syema, seharusnya dirimu yang lebih berusaha untuk memahami mertuamu. Sebetulnya, kita tak perlu saling berprasangka. Pada dasarnya, semua hukuman, cobaan, ujian ataupun anugerah sekalipun hanya mendatangi orang yang benar-benar siap. Pada akhirnya, merupakan kesalahan kita jika ketidakpercayaan kita terhadap pertolonganNya membuat kita selalu merasa kalah, selalu merasa berbeda bahkan takut pada perbedaan itu!”
“Syema, ketika mertuamu berusaha membuatkan makanan kesukaanmu, saat itu dia berusaha mencintaimu. Sekalipun kalian berada di dua jagat berbeda. Dan mungkin itu tidak pernah berhasil untuk meyakinkan perasaan kalian. Namun, kau tak perlu lagi berprasangka kepadanya kan? Mungkin ini sulit bagimu. Tetapi kau perlu mengingat satu hal: cintaNya kepada semua makhlukNya yang tidak terbelah-belah.”
Kedamaian semakin kental bersemayam dalam hati Syema. Semuanya menjadi ringan, jelas, dan nyata. Kenyataan-kenyataan yang selama ini tersembunyi kini satu peratu menampakkan diri. Lalu dengan tertib menjamahnya dan menuntuntunnya menuju hakikat semua itu. Syema melayang dalam kebahagiaan. Kabut-kabut yang menyelubungi pandangannya pelan-pelan pergi.
Tiba-tiba ia melihat makhluk bersayap yang tak terhitung jumlahnya meluncur ke hadapannya. Mereka turun dari pintu-pintu langit yang terbuka bagaikan cahaya yang memancar. Malaikatkah? Syema membisikkan tanya yang seketika itu juga dia tahu jawabannya. Ia terpana melihat malaikat yang sedang berdiri, rukuk dan sujud kepada Allah sambil berzikir dan bertasbih.
Shaah! Angin yang menuju Pantai Watu Ulo mendadak diam ketika sebuah sayap yang begitu indah tiba-tiba membelai bahunya yang menjadi kaku terenggut rasa takjub. Jibrilkah?
Bibir Syema gemetar. Wewangian yang tak pernah dikenalnya menyeruak sekeliling. Entah berapa lama dia menyaksikan keajaiban itu. Waktu seakan berhenti. Di depannya tampak lapang, matanya bisa lepas memandang pantai di kejauhan. Pepohonan yang biasanya menghalangi pandangan kini rebah mencium tanah. Apakah mereka bersujud?
Allahumma innaka ‘afuwun tuhibbul afwa fa’fu ‘annii
Allahumma innaka ‘afuwun tuhibbul afwa fa’fu ‘annii
*****
Pagi itu matahai terbit dengan jernih tanpa tertutup awan. Menyisakan semangat kebaikan pada seorang perempuan bernama Syema. Tebaran rahmat di malam seribu bulan selalu mengintai siapapun yang disayangiNya.
Tak mengenal gulita
Tak mengenal bayangan
Tak ada yang bisa menduga
Tak ada yang bisa memaksa
Seluruh jejak benderang
Terangkai rahmat di hati yang di cinta
Dia menyapa jiwa yang sedia menerima cahaya

Jakarta, 18 Ramadhan 1429H



Read More......

Jumat, 21 Maret 2008

Pragmen Kematian

Pragmen Kematian
Aku sudah mati!
Sesaat setelah kulewati lorong panjang kegelapan dengan senoktah cahaya terang di kejauhan. Ketika mencapainya, ternyata aku berada di kamarku sendiri. Terlongong menatap sekujur tubuh kaku tertutup kain. Tubuhku!
Kematian ini bagaikan udara menerpa wajahku. Tak terasa. Setelah perpindahan yang sangat mudah, singkat, ringan dan begitu halus, aku kini bisa berjalan laksana semilir angin. Aku dapat menembus segala macam benda tanpa merusaknya dan tanpa terlihat mata.
Kematian ternyata juga tidak begitu menyakitkan seperti yang diceritakan Pak Haji Husein di pengajian komplek. Aku hanya merasa sedikit sakit dan agak gatal seperti digigit semut merah. Lalu kematian pun kulalui dengan senyuman.
Kematian malah membuatku merasa terbebas dari impian-impian kosong. Ibaratnya, seperti kita bermimpi di kala tidur kemudian kita terbangun. Maka, kehidupan dunia hanyalah impian dan kematian merupakan proses kesadaran total manusia.
Sehingga tampak bodohlah orang-orang yang jungkir balik berusaha membangun mimpinya, namun ketika terbangun tak secuilpun yang dibawanya. Kematian datang untuk membebaskan orang dari kebodohan itu.
Kuperhatikan suami, kedua anakku dan orang-orang yang mengelilingi jasadku. Dari mulut mereka yang mengerucut dan membuka membunyikan do'a: irhamnaa yaa arhamarraahimiin berhamburan bunga-bunga indah yang melekatiku dan mengharumi rohku yang berkilau cemerlang.
Aku menangis!
"Anakku! Jangan menangis, Nak!"
Teriakanku ini membuat burung di kurungan belakang mencicit gaduh. Bumi terasa bergoncang. Tapi anakku tak bergeming. Akhirnya aku diam, bagaimanapun bunyi yang mempunyai frekuensi kurang dari 20 Hz tidak akan dapat didengar manusia yang masih terperangkap jasad wadagnya.
Aku kembali berputar-putar. Di dapur, Bu Lik Aisyah dengan ibu komplek terisak-isak. Semuanya tampak muram dan kontras dengan keanggunan rohku yang telah meraih kebebasannya.
Ah! Kematian memang benar-benar indah namun juga penuh misteri. Aku yang berusia tiga puluh enam tahun dan segar bugar justru lebih dahulu mengalaminya daripada Bu Lik Aisyah yang sudah berumur lima puluh sembilan tahun dan sakit-sakitan.
Aku berpindah lagi ke ruang tengah. Di tempat ini, jasadku yang telah dipindahkan sedang dipersiapkan untuk dimandikan.
Bu Hajjah Aminah memimpin anak buahnya memandikanku. Dingin menusuk ketika guyuran demi guyuran air dialirkan di atas tubuhku. Geli yang amat sangat kurasakan ketika Bu Hajjah Aminah perlahan menggosok bagian tubuhku yang selama ini kujaga dan kurahasiakan.
Tetapi, rasa sakit tiba-tiba merejamku. Aku mengumpat pada salah seorang anak buah Bu Hajjah yang terlalu keras menggosok kulitku. Sakit dan geli silih berganti.
Tapi aku tak menggerundel lagi saat kuperhatikan kehati-hatian mereka memperlakukan mayatku. Entahlah, kematian membuat kepekaanku bertambah empat puluhan kali.
Aku membetot angin dalam loncatan ringan dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Sebentar lagi rumah yang telah kutempati empat belas tahun sejak menikah dengan Mas Yoso akan kutinggalkan.
Di rumah ini, belasan tahun yang lalu, seorang Arjuna datang dan ingin membawaku terbang. Nirwana indah yang pernah kami cita-citakan jauh sebelum kehadiran Mas Yoso yang berhasil mendapatkan simpati kedua orang tuaku begitu mempesona.
“Apalagi yang bisa kuperbuat selain berdiam diri?”
“Dan menyakitiku?” sergahnya.
“Semua sudah lewat,” desisku pahit.
“Bodoh!”
“Lebih bodoh lagi jika aku membiarkan diriku terperangkap masa lalu,”
“Masa lalu yang mana?”
“Yang mana lagi?!”
“Dalam keputus-asaan, kau tampak semakin dungu. Masa lalu yang mana yang akan kau tinggalkan?”
“Semuanya!” tandasku.
Arjunaku tertawa dan aku mendelikkan mata, tersinggung.
“Tak secuilpun dari masa lalumu yang bisa kau tinggalkan begitu saja,”
“Kenapa?” tanyaku memancing.
“Karena sampai kapanpun kau akan memilikinya. Kalau suatu ketika kau merasa membuangnya, kau hanya tertidur atau lupa. Tapi begitu bangun dan begitu ingat, kau masih menggenggam masa lalumu”.
Kuhembuskan napas melonggarkan dadaku yang sesak tanpa berucap sepatah katapun. Perselingkuhan (selama tidak kecolongan) mungkin bisa memberikan nuansa kehidupan yang lain. Kita diibaratkan bisa mengenal dunia yang berbeda tanpa harus meninggalkan bumi yang kita pijak. Tapi bagaimanapun aku sudah memilih dan aku merasa tak mungkin memiliki semuanya sekaligus.
Pernikahan ini terlalu agung jika harus kuwarnai dengan kebohongan anak kecil yang ketahuan menyontek. Mas Yoso, meskipun memiliki kekurangan selayaknya amnusia, ia terlalu baik untuk disakiti.
"Cobalah kau lari. Terus berlari sampai keliling bumi, kau akan kembali ke sini, ke masa lalumu. Pasti!" Arjuna tersenyum mengejek.
Aku tak berniat membantah. Aku juga tak menyagkal jikalau kehidupan diibaratkan seperti angka nol. Berawal dari satu titik dan akan berakhir di titik itu lagi. Hidup dan mati manusia berasal dari Dzat yang menciptanya dan akan kembali kepada Dzat yang memilikinya.
Aku bahkan tak akan membantah bila kehidupan sebagai proses yang berlangsung antara hidup dan mati diumpamakan bagaikan gelombang.
Dimana di situ ada fenomena kehidupan yang turun naik dan kait mengkait sehingga aku takkan bisa melarikan diri. Karena itu, aku takkan lari!
Waktu terus berlalu. Aku menjalani kehidupanku yang biasa-biasa saja. Hamil lalu melahirkan sesuai kodratku sebagai perempuan. Menjalani kehidupanku sebagai seorang istri dan seorang ibu yang sama sekali tidak menjadi penghalang karirku sebagai pengacara.
Lima tahun kemudian aku bertemu dengan Arjunaku lagi. Seperti keyakinanku, dia telah berkeluarga. Terlalu banyak Sembadra dan Srikandi yang bersedia menjadi mainannya sekalipun. Tapi tak urung aku kaget ketika dia bilang tidak berbahagia.
"Atas perpisahan yang menyakitkan dulu, apakah aku lebih kehilangan ketimbang dirimu sendiri?"
"Mungkin ya, mungkin tidak, mungkin sama saja," jawabku setenang-tenangnya.
"Lalu kenapa kau bisa tertawa bahagia sedangkan aku tidak?"
"Karena bagimu, mengingatku adalah bunuh diri tak mati-mati".
"Bagimu tidak?"
Aku tak menjawab. Arjunaku menarik napas dalam-dalam.
"Kamu benar, Kunti. Karena masa lalumu telah kau buang sehingga tak ada alasan bagimu untuk mengingatnya"
Kulirik Arjuna yang tersenyum masam.
"Tak ada yang dapat membuang masa lalunya, Arjuna."
"Lalu kenapa?"
"Karena kau anak ayam yang terbiasa mendapatkan induknya di manapun. Dan aku, barangkali satu-satunya induk yang tak bisa kau miliki"
Arjuna menatap tajam seolah-olah mau menelanku.
"Berdamailah dengan masa lalu, berdamailah dengan dirimu. Ada kekuatan besar yang menjadi penentu segala sesuatu, kekuatan Yang Maha Memberi. Tapi bukan berarti kita bisa memiliki semua yang kita inginkan. Berdamailah dengan keterbatasanmu, agar kapanpun kau mengingatku tidak menjadi ritual bunuh diri tak mati-mati. Terlalu menyakitkan untuk anak ayam sepertimu."
Kutatap Arjuna untuk terakhir kali sebelum kuayunkan langkah. Aku hanya berdo'a semoga dia juga bahagia.
Berdamai dengan masa lalu! Ah!
Hari ini seharusnya aku mendampingi klienku yang menjadi saksi kunci korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh seorang yang sangat berkuasa. Seseorang yang tak pernah tersentuh hukum.
Dan seseorang itu pula yang pernah dekat sekali dengan hidup dan perjuanganku. Tapi kemapanan telah membuatnya terlena hingga aku sebagai satu-satunya induk yang tak bisa dimilikinya harus menyadarkannya.
Namun, seorang penembak misterius keburu menancapkan pelurunya di keningku pukul delapan pagi tadi. Tepat dua jam sebelum persidangan dimulai! Dan kejahan ini pasti akan terlupakan, sementara saksi kunci itu mungkin dituntut balik karena telah mencemarkan nama baik! Oh negeriku sayang! Kebenaran tidak lebih berharga di banding sampah di trotoar jalanan.
Langit mendung. Seluruh alam bergemuruh, bertasbih. Wewangian yang tak habis-habis terus menyertai ke manapun aku berpindah. Dalam keharuan seperti ini aku merasa ingin menangis. Tapi tak ada air mata, tak ada suara. Aku lalu mengungkapkannya dengan mencelat ke sana ke mari dalam gerakan ringan.
Ratusan, mungkin ribuan pengantar jenazah mulai bergerak menuju Karet, tempatku bakal dimakamkan. Mobil yang membawa jasadku ditutup kain berwarna hijau. Sirene meraung-raung.
Petugas-petugas keamanan dengan pakaian preman dan berseragam terlihat turut menyertai barisan panjang ini. Sementara itu dua orang polisi memimpin barisan di depan sambil melambai-lambaikan bendera berwarna putih.
Aku ingin berdamai dengan masa lalu. Berdamai dengan ruang dan waktu yang menghargai kebenaran hanya sampai di tenggorokan. Ah! Jasadku pelan-pelan diturunkan ke liang lahat. Kulihat orang-orang menangis semakin keras ketika tanah dan bunga-bunga dijatuhkan sambung menyambung di atas tubuhku.
Aneh! Semakin banyak tanah menutupiku, semakin benderanglah sekelilingku. Kucium anak-anak dan suamiku dalam selarik cahaya penuh kasih. Inilah saatnya aku harus berdamai dengan masa lalu agar kehadiranku tidak menjadi sesuatu yang meresahkan bahkan menakuti mereka.
Dengarlah! Nyanyian-nyanyian merdu menyambut kedatanganku.
"Wahai jiwa yang tenang...
Wahai jiwa yang tenang.."
Sapaan ini membuatku meliuk-liuk semakin cepat. Kusongsong malaikat Izrael dalam wujudnya yang seperti matahari. Kadang sinarnya yang menyilaukan itu meredup seperti rembulan.
Pada saat itu dapat kulihat titik-titik hitam menyerupai mata yang banyak sekali. Mungkin milyaran. Apakah mengedipnya satu mata berarti satu orang pula meninggal dunia? Maha suci Tuhan!
Aku mencelat berusaha semakin dekat. Wujudnya berubah menjadi rajawali yang menutup angkasa dengan sayapnya. Langit biru berkilauan.
Aku bertanya, "Kemana aku akan dibawa?" Izrael seperti tersenyum dibalik perubahan-perubahan wujudnya yang luar biasa indah.
Aku melenting turun naik dan beredar mengelilingi Izrael yang menjelma menjadi monumen cahaya. Lalu datanglah dua cahaya yang sangat besar dan harum.
Rohku tenggelam dalam kebesaran cahayanya. Aku merasakan nikmat yang enteng tetapi terasa nyeri.
Mungkin inilah keindahan itu. Keindahan yang kupungut setelah tercecer dan berserak di mana-mana. Kinilah saat semua disatukan kembali ke kaki yang menciptanya. Izrael menghilang.
Gegap salam menyambut kedatanganku. Semua terasa mengawan. Indah.
"Wahai jiwa yang tenang
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya
Maka masuklah ke dalam barisan hamba-hamba Ku,
Dan masuklah ke dalam surgaku.."

Read More......

Minggu, 17 Februari 2008

Ekspresi Abadi

Hai kawan...
Selalu menyenangkan jika kita mempunyai ruang untuk berekspresi. Dengan harapan kita bebas untuk menjadi diri kita sendiri. Menuangkan segala kisah hidup yang kita alami ataupun kita hayalkan. Segila apapun!
So...
Silahkan kawan tinggalkan sedikit
story, apapun itu, semoga mendatangkan sebuah pelajaran berharga BAGI ORANG LAIN....
Terima kasih

Read More......