Kau hampiri kami dengan Ramadhan-Mu
Tak ternilai cinta dan kasih sayangMu
Kepada kami yang jangankan untuk mencarinya…
Menerima pun kami masih enggan
Dan berlagak sok dan seperti tidak butuh
Apa lagi yang bisa kami dustakan
Apa lagi yang bisa kami banggakan
Apa lagi yang bisa kami sombongkan
Dan berapa sering lagi kami akan melalaikanMu? (Jamilun)
*****
Syema menyambut suaminya yang pulang larut malam dengan mengantuk. Syema, dalam usianya yang memasuki tiga puluh tahun, mencium tangan lembut suaminya dengan takzim dan mengambil tas kerja suaminya. Sambil melirik, si cantik Syema bertanya:
“Bagaimana acara hari ini, lancar?”
“Yah begitulah,” jawab suaminya singkat. “Aku sudah dapat tiket untuk mudik.”
“Mudik ke mana Mas?” Tanya Syema sambil mengerutkan kening.
“Ke Jawa,”
“Ke Jawa lagi?”
“Abah dan Ummi akan mengadakan syukuran buat ulang tahun Najwa,”
Duh! Mudik untuk menghadiri perayaan ulang tahun cucu kesayangan?
“Kenapa tidak ke Kalimantan?”
“Ongkosnya lebih banyak,”
“Tapi aku kan juga punya tabungan, Mas,”
“Simpan saja buat keperluan yang lain,”
“Keperluan apa, Mas?”
“Mungkin nanti biaya perjalanan dan buah tangannya juga perlu di tambah lagi”
“Ah!”Syema meneguk ludah, kecut. Sejak menikah, sudah empat kali lebaran dia tidak pulang kampung. Dua di antaranya lebaran di perantauan, selebihnya dia ikut pulang kampung ke Jawa, ke rumah mertuanya. Sesungguhnya dia menyimpan kerinduan yang sangat dalam terhadap tanah kelahirannya, tapi dia juga tak berdaya melawan keinginan suaminya untuk menikmati lebaran bersama keluarganya.
Kadang dia merasa suaminya tak cukup peka untuk merespon kebutuhan jiwanya. Sebagai seorang anak, suaminya selalu luluh tak berdaya setiap mendengar keluhan dan kerinduan orang tuanya. Syema juga meragukan, mertuanya pernah berpikir tentang kebutuhan menantunya.
Astaghfirullaahal’azhiim!!!
Syema buru-buru membaca istighfar, berusaha mengusir perasaan negatif yang merejam hatinya. Meski agak kurang sreg dengan keputusan suaminya, Syema tidak mempermasalahkan tujuan mudik lagi. Dia berusaha menata perasaannya. Mudik ke Jawa pun tidak masalah, toh orang tua suaminya berarti orang tuanya juga. Sembari membayangkan Lebaran bersama-sama shalat Ied di pelataran masjid pesantren milik keluarganya.
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, Syema sungguh-sungguh berusaha memelihara dan menyelamatkan puasanya. Bahkan sahabatnya di tempat kerja sering menggodanya karena perubahannya itu. Tapi Syema hanya menanggapinya dengan senyuman. Puasa adalah perintah Allah dan Allah sendiri yang mengaruniai pahalanya. Subhanallah.
*****
Dalam hari-hari mendekati mudik, Syema semakin sering teringat perkataan mertuanya,
”Nak, sebetulnya Masmu dulu telah diminta oleh Kyai Fattah yang punya pondok di kota Banyuwangi untuk di jodohkan dengan putri bungsunya. Tetapi Masmu tidak mau. Padahal, telah disediakan rumah, modal untuk usaha dan pesantren untuk dikelola.”
Ya, pada awal pernikahannya sampai sekarang, Syema seringkali disindir ataupun dibandingkan dengan calon menantu impian yang tidak dipilih anaknya. Hal itu membuat Syema tidak begitu bisa masuk pada keluarga ningrat suaminya.
Syema yang berasal dari sebuah desa di Kalimantan, terbiasa bekerja keras di sawah, terbiasa terpanggang sinar matahari dan tak terlalu memperhatikan penampilannya. Kehidupan yang membuat buku jemari tangannya mengeras dan membesar. Telapak tangannya pun terasa kasar. Semasa pacaran, hal itu sempat menjadi olok-olok di tengah keluarga suaminya. Tetapi Syema pura-pura tak mendengar. Meski hatinya kadang merasa sakit.
Sangat berbeda jika dibandingkan dengan keadaan suaminya. Jemari tangannya runcing dengan telapak kaki yang lebih lembut dari telapak tangan istrinya. Tetapi Syema kadang tertawa di dalam hati menyaksikan tradisi keluarga suaminya yang aneh. Keningratan yang menimbulkan kemalasan dan sikap gengsi melakukan hal-hal kecil. Berakibat pula pada ketidakmandirian mereka meskipun telah berkeluarga. Bahkan tergila-gila pada penghargaan dari orang lain terhadap keningratan mereka.
Selebihnya Syema merasa bersyukur, sejarah pendidikan suaminya yang membuatnya jauh dari keluarga besarnya, menorehkan bentuk kepribadian berbeda dibandingkan dengan karakter keluarganya.
*****
Ramadhan ke-26.
Setelah menempuh perjalanan selama 23 jam dengan Bis Lorena. Pertemuan dengan mertuanya pun akhirnya tiba. Mertuanya memeluk sekilas, seolah hanya untuk basa basi dan kepatutan. Lalu menghabiskan obrolan dengan anak dan cucunya yang lagi lucu-lucunya. Syema hanya tersenyum ketika kehadirannya hanya sebagai pengiring. Akhirnya dia memilih merapikan barang-barang bawaan di kamar. Menyiapkan oleh-oleh yang akan diberikan kepada mertua dan keponakan-keponakan suaminya.
Bahkan Syema kembali tersenyum, ketika mertuanya menerima oleh-oleh baju lebaran dengan ucapan:
“Wah.., kalau di sini baju bagus-bagus. Ini harganya tujuh puluh ribu ya?”
Syema hanya diam menatap bandrol yang masih melekat di baju itu, tigaratus tujuh puluh ribu. Egonya merasa terluka meskipun bibirnya masih bisa mengembangkan senyuman. “Itu ada harganya, Ummi”
“Haah.., mahal banget. Kalau di sini paling seratus ribu!”
Nah! Syema kembali tersenyum. Pahit.
*****
“Seharusnya Mas dulu tidak memilih jelata seperti aku”
Suaminya menatap Syema dengan tajam. “Maaf ya, Mas, aku lagi agak emosional. Tentu saja Mas memilihku, kan kita saling mencintai.”
Syema merasa lega melihat suaminya tersenyum,” Ya Dik, itu sudah menjadi komitmen kita, bukan?”
Syema mengangguk. Kepalanya bertelekan di bahu suaminya dan tangannya memeluk pinggang. Rangkuman dari kesatuan keindahan yang tercipta di tengah keluarga mereka.
“Tetapi bisa gak, kita tak perlu mengingat hal-hal yang membuat kita merasa benci kepada orang lain. Mengacuhkan hal-hal yang tidak memberi nilai positif bagi keharmonisan rumah tangga kita.” Suaminya seolah membaca pikiran Syema. “ Apakah Adik sayang kepada orang tua Mas?”
“Ya tentu, aku sayang sama Ummi. Mas tahu sendirikan, kalau kita ke sini, pasti aku selalu ditanya makanan apa yang ku inginkan. Dan Ummi akan sibuk membuatkan makanan kesukaan kita”
Jawaban itu rupanya cukup memuaskan suaminya. Setelah makan kolak sisa berbuka, suaminya beranjak tidur. Sementara Syema masih ingin menikmati angin yang bertiup menuju Pantai Watu Ulo. Suara orang-orang yang tadarus dari mesjid di tengah pesantren sudah tidak terdengar lagi. Mungkin masih berlangsung, tapi tidak memakai pengeras suara. Menghargai pluralitas umat yang hidup di sekitar pesantren.
Langit sangat bersih. Malam itu terasa jernih, terang, tenang dan sejuk. Kedamaian dan ketenangan melingkupi hatinya. Berbeda sekali dengan kekesalan yang selalu melingkupi perasaannya setiap bertemu dengan mertuanya selama ini. Ketika dia benar-benar menikmati kedekatan dengan Sang Maha Rahiim, maka cinta dari makhlukNya yang selama ini selalu didambakannya terasa tak bernilai lagi.
Syema menatap langit dan sepotong bulan di penghujung Ramadhan tampak bersinar. Pikirannya mengembara mengingat sikap-sikapnya selama ini. Dia tidak pernah tahu berapa banyak mertua yang tidak cocok dengan menantunya. Keningnya mengerut heran mengingat saat-saat pertemuan singkat seperti ini, semua yang seharusnya tidak perlu dia pikirkan atau rasakan muncul berbenturan. Akhirnya seulas senyum mengembang ketika memikirkan Ramadhan kali ini dia mencoba untuk lebih menghargai.
Dia merasa bukan seperti Alisya yang bisa mencintai mertuanya seperti orang tuanya sendiri. Syema sendiri merasa yakin, mertuanya sangat memahami kalau mereka berdua mencoba untuk menjadi teman. Pertemanan yang dijalin dari dua kehidupan dengan atmosfer berbeda. Dan sekalipun pertemanan itu tidak selalu berhasil! Syema yang tidak bisa menerima sebagian besar tata cara yang mentradisi di tengah keluarga suaminya.
Ah! Syema menarik napas dalam. Dia merasa tidak sendirian. Tidak ada sepi. Kedamaian mengisi sepenuh dadanya. Malam ini, sepertinya Syema bisa melihat isi hati mertuanya. Ketika dari hatinya terdengar bisikan:
“Syema, seharusnya dirimu yang lebih berusaha untuk memahami mertuamu. Sebetulnya, kita tak perlu saling berprasangka. Pada dasarnya, semua hukuman, cobaan, ujian ataupun anugerah sekalipun hanya mendatangi orang yang benar-benar siap. Pada akhirnya, merupakan kesalahan kita jika ketidakpercayaan kita terhadap pertolonganNya membuat kita selalu merasa kalah, selalu merasa berbeda bahkan takut pada perbedaan itu!”
“Syema, ketika mertuamu berusaha membuatkan makanan kesukaanmu, saat itu dia berusaha mencintaimu. Sekalipun kalian berada di dua jagat berbeda. Dan mungkin itu tidak pernah berhasil untuk meyakinkan perasaan kalian. Namun, kau tak perlu lagi berprasangka kepadanya kan? Mungkin ini sulit bagimu. Tetapi kau perlu mengingat satu hal: cintaNya kepada semua makhlukNya yang tidak terbelah-belah.”
Kedamaian semakin kental bersemayam dalam hati Syema. Semuanya menjadi ringan, jelas, dan nyata. Kenyataan-kenyataan yang selama ini tersembunyi kini satu peratu menampakkan diri. Lalu dengan tertib menjamahnya dan menuntuntunnya menuju hakikat semua itu. Syema melayang dalam kebahagiaan. Kabut-kabut yang menyelubungi pandangannya pelan-pelan pergi.
Tiba-tiba ia melihat makhluk bersayap yang tak terhitung jumlahnya meluncur ke hadapannya. Mereka turun dari pintu-pintu langit yang terbuka bagaikan cahaya yang memancar. Malaikatkah? Syema membisikkan tanya yang seketika itu juga dia tahu jawabannya. Ia terpana melihat malaikat yang sedang berdiri, rukuk dan sujud kepada Allah sambil berzikir dan bertasbih.
Shaah! Angin yang menuju Pantai Watu Ulo mendadak diam ketika sebuah sayap yang begitu indah tiba-tiba membelai bahunya yang menjadi kaku terenggut rasa takjub. Jibrilkah?
Bibir Syema gemetar. Wewangian yang tak pernah dikenalnya menyeruak sekeliling. Entah berapa lama dia menyaksikan keajaiban itu. Waktu seakan berhenti. Di depannya tampak lapang, matanya bisa lepas memandang pantai di kejauhan. Pepohonan yang biasanya menghalangi pandangan kini rebah mencium tanah. Apakah mereka bersujud?
Allahumma innaka ‘afuwun tuhibbul afwa fa’fu ‘annii
Allahumma innaka ‘afuwun tuhibbul afwa fa’fu ‘annii
*****
Pagi itu matahai terbit dengan jernih tanpa tertutup awan. Menyisakan semangat kebaikan pada seorang perempuan bernama Syema. Tebaran rahmat di malam seribu bulan selalu mengintai siapapun yang disayangiNya.
Tak mengenal gulita
Tak mengenal bayangan
Tak ada yang bisa menduga
Tak ada yang bisa memaksa
Seluruh jejak benderang
Terangkai rahmat di hati yang di cinta
Dia menyapa jiwa yang sedia menerima cahaya
Jakarta, 18 Ramadhan 1429H
Senin, 05 Januari 2009
MUDIK SERIBU BULAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar